Love Dad

Love Dad
By : Delinmarch


"Ayah adalah tengah dari gerbang Surga, jadi tetaplah di gerbang ini atau lepaskan." (At-Tirmizi).


Setiap anak perempuan pasti menyatakan bahwa cinta pertamanya adalah ayahnya sendiri, tapi mengapa tidak bagiku. Saat itu aku belum sadar dengan kebenaran tentang ayahku. 

Satu hal yang aku gambarkan saat ini yaitu aku tidak suka dengan ayahku. Ayahku yang cuek kepada anak-anaknya sendiri akan tapi bermain dengan anak-anak orang lain.

Sebagai anak pastinya aku cemburu melihat kedekatan itu, sampai sekarang aku kurang dekat dengan ayah hanya karena masalah sepele itu. 

Suatu hari ketika masih kelas 6 Min, aku diajak oleh Mutia yaitu temanku untuk mengikuti studytour ke Banda Aceh.

 Dengan umurku yang baru menginjak 12 tahun tentu tidak diizinkan oleh ayah. Aku menolak tawaran Mutia dengan alasan ayah tidak akan mengizinkanku untuk bisa ikut serta dalam studytour itu.

Aku selalu putus asa, dengan diriku yang sekarang tidak berani berbicara dengan ayah. Padahal dulu ayah selalu berusaha dekat dengan anak-anaknya dengan sikap cueknya yang sekarang. Jika aku ingin berbicara pun harus melalui Mama sebagai perantara.

Mutia akhirnya yang meminta izin kepada ayahku, dan siapa sangka ayah langsung memberikan izin. Aku selalu berpikir bahwa jika aku yang meminta pasti tidak akan diizinkan, jika aku bertanya atau meminta suatu hal ayah akan menjawabnya dengan lama sehingga aku dan ayah merasa canggung. 

Karena sudah diberikan izin, aku merasa senang tidak menyangka kedepan akan seperti ini. Kami sekeluarga juga jarang jalan-jalan karena ayah selalu mementingkan orang lain, seperti ada orang sakit walaupun itu tetangga ataupun orang yang tidak dikenal sekalipun beliau mau mengantarkannya.

 Sekarang yang menjadi kendala ketika aku ikut studytour yaitu handphone, bagaimana bisa aku memberi kabar kepada Mama dirumah jika sudah sampai ketempat tujuan.

Malam itu juga aku menangis meminta handphone, aku menyindir ayah yang selalu membelikan apapun untuk orang lain dulu bukan untuk anak-anaknya yang memang membutuhkan itu sekarang. Aku belum mengerti apa maksud ayah. Dari segi wajah, aku memang jelas turun dari ayah termasuk sifatnya.

Keesokan harinya, ayah mengantarkan aku dan Mutia ke sekolah, jika telat kami akan ketinggalan bus. Sebenarnya ayah tidak mengizinkan dengan bus karena mengingat perjalanannya yang melewati gunung-gunung. 

Dengan keadaan aku tidak memiliki handphone hanya bisa melihat pemandangan sekitar, semua murid lain sibuk dengan handphonenya. Setelah satu jam perjalanan ayah menelfon ke hp temanku dan menanyakan kami sudah sampai didaerah mana. Begitu pula selanjutnya, ayah menelfon setiap satu jam.

Antara aku yang terganggu, ntah Mutia yang terganggu karena handphonenya penuh dengan panggilan dari ayah. Baru sebentar dalam perjalanan, Mutia muntah disampingku karena terlalu sibuk menatap hanphone ketika dalam perjalanan. 

Aku bersyukur tidak mabuk perjalanan, ingat pesan Mama bahwa aku harus fokus melihat jalan dan pemandangan. Aku takut guru yang menjadi pengawas itu tidak sanggup mengawasi banyaknya murid seperti kami.

Kami menginap satu hari lamanya dan pulang sampai kembali kesekolah sudah pukul 1 malam lewat. Ternyata ayah menunggu disalah satu warung dekat sekolah menungguku untuk sampai. Padahal aku tidak mengabarkan bahwa aku akan pulang hari ini. Aku melambai-lambaikan tangan kepada ayah dan ayah membalas lambaian tanganku.

Ayah langsung tiba disekolah lebih dulu ketimbang bus yang aku naiki.Aku menyalami ayah sekaligus bangga mempunyai ayah yang cuek tapi aslinya peduli. Ntah mengapa ketika kami jauh, aku dan ayah lebih akrab berbicara lewat telfon.

Dari kepedulian ayah yang tidak nampak dimata ini, aku mulai belajar menutup aurat. Aku tidak ingin membawa ayah yang cuek ini ke jalan sesat. 

Saat itu aku menangis mengingat kejahatan yang selama ini aku buat, tanpa memikirkan ayah, abang dan adik laki-laki dengan mudahnya aku menyepelekan hal penting.

Aku jadi ingat ketika Hari Raya Idul Fitri dulu, ayah mengajakku duduk disampingnya dan dibimbing untuk meminta maaf kepada ayah dengan kata-kata yang tulus dari hati kita.

 Jahatnya, ajaran ayah yang pernah diajarin tidak pernah aku lakukan lagi sekarang. 

Sebenarnya yang jahat dan tidak peduli itu aku, karena ayah aku bisa sesukses ini. Dalam diam ayah mengirimkan mainan kepada aku agar aku bisa bermain tenang. Itu semua karena aku yang tidak mengerti ayah. Ayahku sekarang, menampakkan kasih sayangnya lewat hal lain secara diam-diam. 

Pernah suatu hari, setelah melaksanakan shalat taubat berjama’ah ketika akhir tahun yang diselenggarakan oleh pesantren.

 Kami sekeluarga pergi shalat, semuanya nangis mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja.

Setelah semua selesai shalat, seluruh keluarga menyalami keluarganya. Aku menyalami ayah saat itu, ayah memelukku walaupun tidak sepenuhnya. Sudah sangat lama tidak pernah sedekat ini dengan ayah, ayah yang tidak akrab dengan anak-anaknya. 

Ayah juga mengecup keningku singkat, sedih rasanya ketika mengingat itu kembali. Rasanya ingin sekali mengulang kejadian semasa kecil dan mengulangnya.
Aku rindu ketika dulu ayah sering menceramahiku untuk rajin dalam beribadah walaupun aku sering mengabaikannya. 

Ayah menunjukkan kepeduliannya yang lain tanpa aku sadari. Ayah pemimpin sempurna dalam hidupku, banyak sekali kenangan manis bersama ayah walaupun tidak semanis keluarga orang lain. Tapi mau bagaimana pun sikap ayah, beliau adalah ayahku. 

Ayah yang tidak mau terlihat alay didepan anak perempuannya, ayah yang selalu memperlihatkan kebijaksaannya dalam memimpin keluarga. 

Barulah sekarang aku mengerti siapa cinta pertama aku, orang yang selama ini pernah aku ragukan. Maaf ayah, terima kasih pengorbanan yang selama ini bisa engkau berikan kepadaku. Aku yang selama ini salah memperhatikan dirimu, selalu menyalahkanmu dalam segala hal. 
Dari pengalaman mulai dari kecil hingga sekarang banyak hal yang ayah ajarkan kepadaku.

 Salah satunya untuk ikhlas dalam segala hal, ayah selalu memberikan sesuatu tanpa memikirkan bagaimana beliau sendiri kedepan. Suara ayah yang indah turun kepadaku, ayah selalu membaca surat surat dalam shalatnya sehingga bisa menempel dikepala.

 Tidak dibelikan handphone dulu karena aku yang masih terlalu kecil dan tidak baik bermain handphone ketika sedang dalam perjalanan. Dan yang terakhir, tentang sikap cuek dan tegas dari ayah mengajarkan kami agar tidak terlalu manja. Harus kuat dalam menjalani kehidupan yang keras diluar sana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Change My Self

To Allah